Laporan Praktikum Taksonomi Hewan



Identifikasi Karakter Morfologi Spesimen Nematoda, Platyhelminthes, dan Annelida

Ririn Dewi Astutik
Tadris Biologi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Jember
NIM: T20158025

ABSTRAK
Annelida adalah cacing yang memilki bentuk seperti sejumlah cincin kecil yang diuntai, bersifat triploblastik, dan selomata (berongga tubuh sejati). Nematoda adalah cacing berbentuk bulat panjang (gilik) atau seperti benang. Nematoda merupakan hewan triploblastik dan pseudoselomata (berongga tubuh semu). Platyhelminthes adalah cacing berbentuk pipih, triploblastik (memiliki tiga lapisan embrionik), dan aselomata (tidak berongga tubuh). Praktikum ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter morfologi spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida berdasarkan kunci identifikasi, mengklasifikasikan spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida, dan membuat dendogram spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida. Metode yang kami lakukan ialah pertama mengambil sampling spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida untuk dijadikan bahan praktikum kemudian kami melakukan pengamatan di LAB. Hasil yang kami peroleh ialah 1 spesies Nematoda Ascaris Suum pada usus babi, 1 spesies Platyhelminthes Fasciola hepatica pada hati sapi, dan 1 spesies Annelida Hirudo medicinalis.

Kata kunci: Hirudo medicinalis/Fasciola hepatica/Ascaris suum



PENDAHULUAN
Praktikum ini dilakukan agar mahasiswa dapat mengidentifikasi karakter morfologi spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida yang di ambil dari berbagai tempat ada yang dari daerah Tulungagung (ternak lintah), pasar Tanjung (Penjual/jagal babi dan sapi). Dalam hal ini berkaitan dengan ayat alquran surah an-Nur ayat 41.

وَفِى خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ اَيَتٌ لِقَوْمِ يُوْقِنُوْنَ (4) .

Artinya: “Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakininya.” (al-Jatsiyah : 4)
Maksud dari “binatang-binatang yang melata” ialah hewan seperti filum Nematoda (Ascaris suum), filum Platyhelminthes (Fasciola hepatica) dan juga hewan seperti Filum Annelida (Hirudo medicinalis).

Nematoda adalah cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit. Ciri-ciri tubuhnya tidak bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada kedua ujungnya. Tubuhnya tertutup oleh suatu kantung dermomuskular yang terdiri dari tiga lapisan kutikula, hipodermis dan otot. Secara umum nematoda jantan dapat dibedakan dari nematoda betina dari ukuran dan bentuk tubuhnya dimana nematoda jantan memiliki ukuran yang lebih kecil, ujung posterior yang melingkar dan adanya bursa serta beberapa struktur reproduksi tambahan lainnya yang tidak dimiliki oleh nematoda betina. Cacing betina dewasa bertelur dan mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor berupa rayap (Kusumamihardja, 1992).
Secara umum, morfologi cacing dewasa dari kelas nematoda memiliki ukuran yang berbeda-beda, mulai dari 2 cm sampai lebih dari 1 meter dengan bentuk bulat panjang seperti benang, tidak bersegmen, dan kulit diliputi kutikula. Cacing jantan lebih kecil dari cacing betina, biasanya ujung posterior melengkung kedepan. Saluran pencernaan makanan, system saraf, system ekskresi, serta pada sistem reproduksi cacing nematoda terpisah tetapi tidak memiliki system sirkulasi darah. Cairan rongga badan mengandung hemoglobin, glukosa, protein, garam, dan vitamin (Inriani, 2015).
Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilik penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda di seluruh dunia. Ascaris suum merupakan bagian dari family: Ascarididae (Roberts and Janovy, 2005). Cacing ini berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus (Levine, 1990). Yasa dan Guntoro (2002) melaporkan prevalensi cacing Ascaris suum pada babi di Indonesia khususnya wilayah Bali mencapai 39%. Kemudian Fendriyanto, dkk., (2015) melaporkan prevalensi Ascaris suum adalah sebesar 33,2%, yang masih tergolong tinggi.
Famili Ascarididae merupakan Nematoda yang berukuran paling besar, beberapa spesies di antaranya dapat mencapai panjang 45 cm atau lebih. Cacing jantan memiliki panjang 15 – 30 cm dan diameter 2 – 4 mm pada bagian tubuh yang paling lebar. Mempunyai 3 bibir pada ujung anterior kepala dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel di pinggirnya. Cacing jantan mempunyai 2 buah spikulum yang dapat keluar dari kloaka. Dengan spikulum sama besar dan kuat dengan panjang sekitar 2 mm dan mempunyai 69-75 papila kaudal. Betinanya 20-40 cm dengan diameter 5-6 mm, dengan vulva terletak di sekitar 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior (Levine, 1990). Cacing betina memiliki panjang 20 – 49 cm dan diameter 3 – 6 mm. Memiliki vulva pada sepertiga anterior panjang tubuh dan ovarium yang luas. Uterusnya dapat berisi sampai 27 juta telur pada satu waktu, dengan 200.000 butir telur yang dapat dihasilkannya setiap hari (Roberts dan Janovy, 2005). Telur cacing berukuran 55-75 x 35-50 μm, mempunyai dinding yang tebal serta mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (Bornay, 2006).
Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur 1-1,6 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai di tanah, dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 C. Stadium infektif Ascaris suum yaitu larva stadium ke dua yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif dan kemudian menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik. Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati, menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan paru-paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru, menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus 2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990).
Larva cacing A. suum pada saat bermigrasi ke hati akan terlihat adanya bintik putih pada hati yang disebut juga dengan milk spot tetapi bintik putih tersebut akan berangsur-angsur menghilang pada saat larva meninggalkan hati (Yesenia, dkk, 2017). Larva A. suum yang berada pada paru-paru mengakibatkan infeksi primer, hemoragi dan adanya infiltrasi sel radang lokal (Dunn, 1978). Cacing A. suum yang menetap pada usus halus babi akan menyebabkan kerusakan mukosa usus dan jika terlalu banyak dapat menyebabkan obstruksi pada usus halus (Niasono, 2002). Cacing A. summ dapat menghambat pencernaan protein dengan mengeluarkan zat penghambat yaitu tripsin, yang mengakibatkan babi mengalami kelesuan dan menjadi lebih rentan terinfeksi penyakit (Dewi dan Nugraha, 2007).
Telur Ascarid bercangkang tebal, berwarna coklat kekuningan, hampir bulat, 50-80 atau 40-60 μm, dan dilapisi dengan albumin. Telur cukup tahan terhadap degradasi lingkungan dan disinfektan tetapi dapat dihancurkan oleh uap pembersihan intensif atau kontak yang terlalu lama terhadap sinar matahari penuh. Cacing dewasa Ascaris suum memproduksi telur setelah 2-3 bulan. Telur ini berkembang di alam kemudian tertelan sampai pada saluran cerna dan menetas menjadi larva selanjutnya larva melakukan penetrasi pada mukosa caecum dan kolon bagian atas. Kemudian larva cacing ini terakumulasi di hati sampai 48 jam. Selanjutnya larva tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus. Ketika host batuk larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan hepato-tracheal migrration. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa. Cacing dewasa akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus babi (Roberts dan Janovy, 2005).
Platyheminthes merupakan cacing yang berbentuk pipih dan mempunyai tubuh simetri radial. Ukuran tubuh dari cacing ini bervariasi mulai yang tampak mikroskopis beberapa mili meter hingga berukuran panjang belasan meter. Sebagian besar cacing pipih tidak berwarna. Sementara yang hidup bebas ada yang berwarna coklat, abu, hitam atau yang berwarna cerah. Warna ini disebabkan karena adanya pigemen pada tubuhnya. Bagian ujung anterior pada cacing ini berupa kepala. Pada bagian ventralnya terdapat mulut atau lubang genital. Mulut dan lubang genital ini jelas .pada Turbellaria, tetapi tidak tampak jelas pada Trematoda dan Cestoda (Kastawi, 2005).
Cacing Fasciola sp. diklasifikasikan ke dalam filum Platyhelmintes, kelas Trematoda, ordo Digenea, family Fasciolidae, genus Fasciola, spesies Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp. umumnya memiliki pola yang sama, dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya dan panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut, maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Anggriana, 2014).
Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada rongga peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari. Fasciolosis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati. Fasciolosis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi (Subronto, 2007).
Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir sama bergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu (Anggriana, 2014).
Cacing Fasciola sp. mengalami proses pendewasaan di dalam saluran empedu. Cacing Fasciola dewasa dalam hospes definitive dapat hidup rata-rata antara satu sampai tiga tahun didalam hati. Fasciola sp. pada sapi memproduksi telur setiap harinya kurang lebih 2628 butir dan pada domba kurang lebih 1331 butir. Cacing dewasa bersifat haematophagous (menghisap darah) hospes penderita dan memakan sel-sel hepatik. Didalam caeca cacing dewasa mensekresi Cathepsin yang merupakan proteinase intracellular dan berfungsi sebagai phagocytic digestion (Bendryman, 2004)
Cacing dewasa Fasciola sp. berbentuk pipih seperti daun tanpa rongga tubuh. Perbedaan dari kedua jenis cacing Fasciola sp. adalah pada bentuk tubuh dan ukuran telur. Telur cacing hati (Fasciola sp.) berbentuk oval, berdinding halus dan tipis berwarna kuning dan bersifat sangat permiabel, memiliki operkulum pada salah satu kutubnya. Operkulum merupakan daun pintu telur yang terbuka pada saat telur akan menetas dan larva miracidium yang bersilia dibebaskan (Sayuti, 2007).
Cacing Fasciola sp. berwarna coklat abu-abu dengan bentuk seperti daun, pipih, melebar dan lebih melebar ke anterior dan berakhir dengan tonjolan berbentuk conus. Ukuran tubuh cacing dewasa dapat mencapai panjang 30 mm dan lebarnya 13 mm. Mempunyai batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker) yang besarnya hampir sama. Secara morfologi , Fasciola sp terdiri dari pharinx yang letaknya terdapat di bawah oral. Cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. adapun terdapat sebuah pharinx, namun pharinx tersebut tidak berotot. Tegumen atau lapisan kutikula berfungsi memberi perlindungan terhadap pengaruh enzim pencernaan. Tegumen padat endoparasit membantu menyerap glukosa dan asam amino. Selain itu terdapat arterium yang letaknya di bawah penis dan esofagus, uterus, vasikula seminalis, ovarium serta oviduk pada hewan ini (Fitriyani, 2015)
Cacing hati (Fasciola hepatica), cacing hati yang besar, suatu jenis Trematoda yang berfamili dekat dengan Fasciolopsis buski terdapat pada berbagai daerah di dunia. Infeksinya terdapat di negara – negara: Perancis, Korsika, Algeria, Inggris, Portugis, Iran, di beberapa Negara di Afrika Selatan (seperti Brazilia, Peru, Cili), Opuerto Rico, Medeira, Afrika Selatan, Thailand. Cacing hati (Fasciola hepatica) memiliki telur yang besar, berbentuk oval, mempunyai tutup, berwarna kuning sampai coklat, dan berukuran 130 – 150 mikron. Telur yang belum matang keluar bersama fases. Pematangan dalam air menghendaki suhu optimal 22 - 25º C selama 9 – 15 hari (Susanto, 2009).
Penyakit cacing hati (fasciola hepatica) merupakan zoonosis yang disebabkan oleh hewan parasit dan fasciola gegantica. Fasciola adalah cacing trematoda dengan tubuh berbentuk seperti daun. Hidup anaerob dalam saluran empedu hewan herbivora maupun manusia. Sekitar 40 negara di dunia tercatat sebagai endemisitas fasciollasis hepatica, tersebar di Eropa, kawasan Amerika Selatan, Afrika, Timur Tengah, Asia, terutama di lokasiternak sekala besar (Ambarisa, dkk, 2013).
Menurut Subandriyo dkk(2004) kontrol fasciolosis pada ruminansia kecil di Indonesia dapat dilaksanakan dengan manajemen pemberian pakan, pemberian anthelmentik, kontrol biologi, vaksinasi, dan suplemen nutrisi. Manajemen pakan yang diterapkan oleh Levine (1990) adalah menghindarkan padang rumput lembab sebagai tempat hidup inang antara dan mencegah hewan merumput di tempat tersebut sehingga hewan tidak memakan bahan pakan yang mengandung metaserkaria. Selain itu, Subandriyo dkk (2004) merekomendasikan agar temak diberi pakan segar yang tidak terendam dalam air. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa temak yang diberi pakan rumput yang dipotong sekitar 10 cm di bawah air mempunyai resiko lebih tinggi menderita fasciolosis daripada temak yang diberi pakan rumput kering. Kusumamihardja (1992) menyatakan bahwa kasus fasciolosis meningkat pada musim kemarau pada domba dan kambing di daerah Garut, hal ini dikarenakan petani mengambil rumput dari daerah sekitar selokan, saat musim hujan daerah tersebut terendam dan merupakan tempat menempelnya metaserkaria.
Hirudinea merupakan kelas annelida yang jenisnya sedikit. Anggota kelas hirudinea hidup di lingkungan akuatik dan terrestrial. Panjang Hirudinea bervariasi dari 1–30 cm. Sebagian besar Hirudinea adalah hewan ektoparasit pada permukaan tubuh inangnya. Inangnya adalah vertebrata dan termasuk manusia. Hirudinea parasit hidup dengan mengisap darah inangnya, sedangkan Hirudinea bebas hidup dengan memangsa invertebrata kecil seperti siput. Contoh Hirudinea parasit adalah Haemadipsa (pacet) dan Hirudo (lintah). Saat merobek atau membuat lubang, lintah mengeluarkan zat anestetik (penghilang sakit), sehingga korbannya tidak akan menyadari adanya gigitan. Setelah ada lubang, lintah akan mengeluarkan zat anti pembekuan darah yaitu hirudin. Dengan zat tersebut lintah dapat mengisap darah sebanyak mungkin.
Lintah (Hirudo medicinalis) merupakan organisme yang tergolong sebagai makrozoobentos. Organisme lain yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Gaufin dalam Denny et al. (2009) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran.
Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.
Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak toleran terhadap tekanan lingkungan.
Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik.
Secara umum, lintah berbadan leper, mempunyai 34 gelang dan penghisap pada ujungnya.Ukuran biasa adalah 50 mm dan bahkan mencapai 30 cm. Seekor lintah mungkin mengambil waktu antara 15 hingga 30 menit untuk menyedot darah dari badan manusia. Dalam tempo waktu tersebut ia dapat menghisap kira-kira 2.5 sehingga 5.5 gm darah. Kuantiti darah tersebut sudah cukup bagi lintah untuk bertahan selama 6 bulan. Pada air liur lintah terdapat sekurang-kurangnya 15 jenis zat aktif. Di antaranya ialah sejenis zat yang sama seperti yang terkandung di dalam putih telur.
Mayoritas lintah hidup di air tawar, tetapi terdapat juga lintah darat atau tanah yang bergerak melalui vegetasi lembab. banyak Lintah memakan invertebrata kecil lainnya. Tetapi beberapa jenis lintah adalah parasit penyedot darah yang makan dengan menempel secara temporer ke hewan lain, termasuk manusia. Beberapa spesies parasit menggunakan rahang yang mirip pisau untuk mengiris kulit inang. Semmentara yanag lain mensekresikan enzim yang mencerna suatu lubang melalui kulit. Iang umumnya tidak sadar akan serangan ini karena intah mensekresikan suatu anestesia. Setelah membuat sayatan, lintah mensekresikan bahan kimia lain, yaitu hirudin, yang mempertahankan darah inang supaya tidak menggumpal. Parasit itu kemudian menyedot darah sebanayak yang dapat ia tampung, seringkali lebih dari sepuluh kali berat tubuhnya. Setelah minum banyak sebanyak itu, lintah itu bisa bertahan selama berbulan-bulan tanpa makan (Campbell, 2008).
Sistem pencernaan Lintah terdiri dari mulut, faring, tembolok, lambung, rektum, anus. Anus terletak pada bagian dorsal. Proses pencernaan  penghisap anterior, mulut, faring, tembolok, usus, usus buntu, anus, penghisap, posterior. Sistem reproduksi lintah yaitu: Monoceous. Jantan: 4-12 pasang testis. 1 pasang ductus spermaticus. Betina: 2 ovarium & Oviduct yang berhubungan dengan kelenjar albumin & vagina di median yang bermuara di belakang porus genitalia jantan. Tidak ada tingkat larva. Lintah membentuk kokon yang mengandung telur yang telah dibuahi & kokon akan diletakkan dalam air/tanah.sistem pernafasan lintah dengan cara menyedut oksigen melalui kulitnya yang lembap. Jika keadaan air kurang oksigen, lintah akan muncul ke permukaan.
Pada awal 1990 dimana dalam sebuah riset medis dengan terapi lintah berhasil membuktikan bahwa terapi ini dapat menyembuhkan tumor tanpa kemoterapi dan pembedahan. John Haycroft Berry seorang ahli kimia Birmingham pada tahun 1884 menemukan anti koagulan di dalam air liur lintah yang disebut hirudin dan apabila itu disuntikan ke dalam darah maka akan menyebar ke seluruh tubuh mengikuti aliran darah dan memperlancar aliran darah. Anti koagulan juga dapat menyebabkan hemodilution hipovolemik yang dapat mengurangi tekanan aliran darah pada dinding pembuluh darah (Widaswara, dkk, 2102).
Untuk mengetahui karakter morfologi spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida di berbagai tempat ada yang dari daerah Tulungagung (ternak lintah), pasar Tanjung (Penjual/jagal babi dan sapi), maka kami melakukan pengamatan untuk mengidentifikasi spesiemen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida salah satu nya dengan menggunakan kunci identifikasi dan membuat Dendogram. Sehingga kita bisa mengklasifikasikan spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida.


METODE PENELITIAN
Praktikum yang kami lakukan tentang “Identifikasi Karakter Morfologi Spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida” dilaksanakan pada hari senin tanggal 26 Maret 2018 melakukan pengamatan yang bertempat di LAB Terpadu IAIN Jember.
Alat-alat yang kami gunakan pada saat praktikum antara lain: alat seksi, papan seksi, kaca pembesar (loup), buku identifikasi, lembar pengamatan dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang kami gunakan antara lain: spesimen Nematoda,Platyhelminthes dan Annelida.
Prosedur kerja pada saat pengamatan spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan spesimen Annelida: pertama, menyiapkan alat dan bahan, kedua, meletakkan spesimen di atas papan seksi. Selanjutnya, mengamati spesimen dengan kaca pembesar (loup). Kemudian mencatat karakter morfologi yang meliputi bentuk tubuh, daerah anterior dan posterior, warna tubuh, simetri tubuh, ukuran panjang/lebar. Serta menggambar secara skematis spesimen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida beserta keterangannya. Lalu menulis klasifikasinya serta menganalisis hasil pengamatan. (Mubarok, 2018)


HASIL
Berdasarkan pengamatan yang kami lakuakan tentang “Identifikasi Karakter Morfologi Spesiemen Nematoda, Platyhelminthes dan Annelida” diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1. Pengamatan Spesimen Nematoda
Nama Spesimen: Ascaris suum pada usus Babi
Lokasi: daerah Jember, Pasar Tanjung (penjual/jagal babi)

 
  Gambar 1. Dokumentasi Pribadi

 
Gambar 2. Dokumntasi literatur

  Gambar 3. Dokumentasi hasil tangan
Karakter Morfologi:
ü  Bentuk tubuh : bulat memanjang
ü  Warna tubuh : pink
ü  Simetri tubuh : simetri bilateral
ü  Ukuran tubuh : P : 19 cm. L: 0,5 cm
ü  Berat tubuh: 1,7 gram
ü  Jenis kelamin: jantan
Klasifikasi:
ü  Kingdom: animalia
ü  Filum: Nemathelminthes
ü  Kelas: Nematoda
ü  Ordo: Ascaridia
ü  Family: Ascarididade
ü  Genus: Ascaris
ü  Spesies: Ascaris suum


Tabel 2. Pengamatan Spesimen Nematoda
Nama Spesimen: Ascaris suum pada usus Babi
Lokasi: daerah Jember, Pasar Tanjung (penjual/jagal babi)

 
Gambar 4. Dokumentasi Pribadi
 

 
 Gambar 5. Dokumntasi literatur

Gambar 6. Dokumentasi hasil tangan
Karakter Morfologi:
ü  Bentuk tubuh : bulat memanjang
ü  Warna tubuh : pink
ü  Simetri tubuh : simetri bilateral
ü  Ukuran tubuh : P : 34 cm. L: 0,5 cm
ü  Berat tubuh: 6,3 gram
ü  Jenis kelamin: betina
Klasifikasi:
ü  Kingdom: animalia
ü  Filum: Nemathelminthes
ü  Kelas: Nematoda
ü  Ordo: Ascaridia
ü  Family: Ascarididade
ü  Genus: Ascaris
ü  Spesies: Ascaris suum


Tabel 3. Pengamatan Spesimen Platyhelminthes
Nama Spesimen: Fasciola hepatica pada hati sapi
Lokasi :daerah Jember, Pasar Tanjung (penjual/jagal sapi)

Gambar 7. Dokumentasi Pribadi
 
Gambar 8. Dokumentasi Literatur
 
Gambar  9. Dokumentasi Hasil Tangan
Karakter Morfologi
ü  Bentuk tubuh: pipih
ü  Warna tubuh: putih
ü  Simetri tubuh: simetri bilateral
ü  Ukuran tubuh: P: 3 cm dan L: 0,7 cm
Klasifikasi:
ü  Kingdom: animalia
ü  Filum: Platyhelminthes
ü  Kelas: trematoda
ü  Ordo: eschinostomida
ü  Famili: fasciolidae
ü  Genus: Fasciola
ü  Spesies: Fasciola hepatica


Tabel 4. Pengamatan Spesimen Annelida
Nama Spesimen: Hirudo medicinalis
Lokasi : daerah Tulangagung (ternak Lintah)
 

Gambar 10. Dokumentasi Pribadi
 
Gambar 11: Dokumentasi Literatur



Gambar  12. Dokumentasi Hasil Tangan
Karakter Morfologi
ü  Bentuk tubuh: bulat, melebar, memanjang, dan bersegmen
ü  Warna tubuh: hitam
ü  Simetri tubuh: simetri bilateral
ü  Ukuran tubuh: P: 8 cm dan L: 2 cm
ü  Clitellum berada pada segmen ke 11-16
ü  Berat tubuh: 11,7 gram
Klasifikasi:
ü  Kingdom: animalia
ü  Filum: Annelida
ü  Kelas: clitellata
ü  Ordo: Hirudinida
ü  Famili: Hirudinidae
ü  Genus: Hirudo
ü  Spesies: Hirudo medicinalis

Dendogram

 



PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari hasil pengamatan (dapat dilihat pada gambar dan tabel), maka dapat diketahui bahwa Filum nematoda memiliki banyak spesies yang berbeda salah satunya Ascaris suum, Platyhelminthes memiliki banyak spesies yang berbeda salah satunya Fasciola hepatica. Begitu pula dengan Annelida memiliki banyak spesies salah satunya Hirudo medicinalis.
Ascaris suum termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Subclass Secernentea, Ordo Ascaridida dan Family Ascarididae. Cacing ini merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda diseluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis (Soulsby, 1982).
Cacing A. suum jenis kelamin jantan memiliki karakteristik seperti gelang putih, berbentuk silindris dan memanjang,warna tubuhnya pink, tidak bersegmen, bilateral simetris, panjang cacing 19 cm dan lebar 0,5 cm, dengan berat tubuh 1,7 gram, posteriornya melengkung ke ventral. Hal ini sesuai dengan pendapat Marjiyo (2004), yang menyatakan ciri-ciri dari A. suum yaitu panjang silindris, tidak bersegmen, bilateral simetris dan memiliki sistem pencernaan, jenis kelamin terpisah, biasanya cacing betina lebih besar dari pada cacing jantan. Sedangkan Ascaris suum jenis kelamin betina memiliki karakteristik yang sama dengan jantan yang berebeda hanya ukuran tubuh panjang 34 cm dan lebar o,5 cm, dengan berat tubuh 6,3 gram, serta posteriornya tidak melengkung. Hal ini sesuai dengan Roberts dan Janovy (2005) yang menyatakan bahwa cacing betina memiliki panjang 20 – 49 cm dan diameter 3 – 6 mm. Memiliki vulva pada sepertiga anterior panjang tubuh dan ovarium yang luas. Uterusnya dapat berisi sampai 27 juta telur pada satu waktu, dengan 200.000 butir telur yang dapat dihasilkannya setiap hari. Telur cacing berukuran 55-75 x 35-50 μm, mempunyai dinding yang tebal serta mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (Bornay, 2006).
Terdapat 2 macam telur yang dihasilkan, yaitu telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi dihasilkan oleh cacing betina setelah kopulasi, dan jumlahnya sekitar 200.000 per hari, sedangkan telur yang tidak dibuahi dihasilkan oleh betina yang tidak berkopulasi dengan jantan. Telur yang dibuahi berbentuk oval pendek dengan panjang 50-70 μm dan lebar 40-50μm. Lapisan terluar berupa protein, dan lapisan di bagian dalamnya dapat dibedakan menjadi kulit telur yang transparan dan membran vitelinus yang bergelombang. Telur yang terdapat pada feses biasanya berwarna kuning kecoklatan, karena lapisan protein menyerap zat warna empedu. Terkadang, jika telur kehilangan lapisan proteinnya, identifikasi terhadap telur cacing menjadi lebih sulit. Hal ini disebabkan karena lapisan protein tersebut tidak berwarna, sehingga jika lapisan proteinnya hilang, maka telur cacing tersebut menjadi tidak berwarna . Telur yang tidak dibuahi lebih bervariasi dalam bentuk dan ukuran, dengan panjang 60-100 μm dan lebar 40-60 μm. Memiliki lapisan protein dan kulit telur yng lebih tipis, dan berisi granula-granula dengan berbagai ukuran (Miyazaki, 1991).
Cacing ini berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Ascaris suum memiliki tiga bibir tipis di ujung anterior. Terdapat peninggian bergerigi yang dibentuk oleh deretan gigi yang bentuknya mirip dengan segitiga bertepi lurus sama sisi pada permukaan dalam masing-masing bibir. Mempunyai 69-75 papila kaudal (Levine, 1990). Cacing ini mempunyai spikula sebagai alat kelamin yang berukuran 2-3,5 mm.
Karakter morfologi Fastiola hepatica memiliki bentuk tubuh yang pipih, warna tubuh putih kekuningan (putih tulang/krem), simetri tubuhnya simetri bilateral, memiliki alat isap, akan tetapi pada pengamatan kami tidak mengetahui akan jenis kelaminnya. Hal ini sesuai dengan Soulsby (1986) yang menyatakan bahwa Fasciola hepatica memiliki ciri-ciri: batil isap mulut dan kepala yang letaknya bedekatan, divertikulum usus alat kelaimin jantan (testis) yang bercabang dan berlobus. Sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang memenuhi sisi lateral tubuh. Memiliki sebuah faring dan esphagus yang pendek, uterus pendek dan bercabang-cabang. Metabolisme Fasciola hepatica secara anaerob, mendapat makanan dari sekresi empedu dan dapat hidup selama 10 tahun (brown 1979). Fasciola hepatica dewasa berukuran 20 mm samapai 50 mm (Noeble dan Elmer 1989). Seekor cacing hati (F. hepatica) dalam sehari dapat memproduksi rata-rata 1331 butir telur pada domba dan 2628 butir telur pada sapi.
Fastiola hepatica memiliki inang perantara siput air tawar. Pada saat dewasa menjadi parasit di hati hewan ternak, dan  bisa hidup di hati manusia. Adapun daur hidup Fasciola hepatica adalah sebagai berikut: cacing dewasa parasit di hati hewan ternak kemudian bereproduksi secara seksual dan menghasilkan telur. Melalui aliran darah, telur berpindah ke empedu dan usus, kemudian keluar bersama feses (tinja). Telur menetas menjadi larva bersilia mirasidium. Mirasidium menginfeksi siput air Lymnaea. Di dalam tubuh siput, mirasidium menjadi sporosista. Sporosista berkembang menjadi redia. Redia berkembang menjadi serkaria bersilia, kemudian keluar dari tubuh siput dan menempel pada tumbuhan aiar atau rumput. Serkaria menjadi kista metaserkaria. Bila kista metaserkaria yang menempel pada rumput termakan hewan ternak, maka akan tumbuh menjadi cacing baru di usus ternak, kemudian melalui aliran darah masuk ke hati hingga menjadi cacing dewasa (Irnaningtyas. 2013).
Hirudo medicinalis merupakan salah satu contoh anggota filum annelida dari kelas Hirudinae. Habitat Hirudo medicinalis yaitu air tawar, air laut, dan tanah yang lembab. Hirudo medicinalis berbentuk pipih. Pada ujung anterior dan ujung posterior Hirudo medicinalis terjadi modifikasi segment membentuk alat pengisap (batil pengisap). Batil pengisap ini berguna untuk melekatkan diri pada permukaan tubuh hewan atau manusia yang akan di isap darahnya. Hirudo medicinalis bersifat hermafrodit, embrio berkembang di dalam coccoon.
Lintah (Hirudo medicinalis) memiliki struktur tubuh sebagai berikut: Panjang tubuh mencapai 8 cm dan lebar 2 cm. berat tubuhnya 11,7 gram. Tubuh dilindungi oleh lapisan kutikula. Bentuk tubuh bulat, melebar, memanjang dan bersegmen.Tubuh terdiri dari kurang lebih 34 segmen. Tidak mempunyai parapodia dan setae. Mempunyai alat penghisap (sucker) di bagian anterior maupun posterior. Bersifat hermafrodit. Habitat: air tawar dan darat. Hewan ini tidak memiliki parapodium maupun seta pada segmen tubuhnya. Metamerisme sudah sangat tereduksi: segmen-segmen ujung anterior (biasanya kecil) dan posterior (lebih besar) termodifikasi manjadi alat penghisap yang digunakan untuk menempel dan bergerak.


SIMPULAN
Berdasarkan pengamatan spesimen Nematoda, Platyhelminthes, dan Annelida dapat disimpulkan bahwa Filum nematoda memiliki banyak spesies yang berbeda salah satunya Ascaris suum, Platyhelminthes memiliki banyak spesies yang berbeda salah satunya Fasciola hepatica. Begitu pula dengan Annelida memiliki banyak spesies salah satunya Hirudo medicinalis.


DAFTAR PUSTAKA
Ambarisa, Iba, dkk. 2013.  Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) pada Hati dan Feses Sapi yang Di Ambil dari Rumah Potong Hewan di Mabar Medan Tahun 2013. Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Departemen Kesehatan Lingkungan.
Anggriana, Anna. 2014. Prevalensi Infeksi Cacing Hati (Fasciola Sp.) pada Sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. Skripsi. Makassar: Program Studi Kedokteran Hewan  Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Bendryman, Sri Subekti.  2004. Aspek Biologis Dan Uji Diagnostik Fasciola. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Air Langga.
Campbell. 2008. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Dewi, K. dan R.T.P. Nugraha. 2007. Endoparasit pada feses babi kutil (sus verrucosus). Zoo Indonesia. 16(1):13-19.
Dunn, A.M. 1978. Veterinary Helminthology. 2nd Ed. Williams Heinemann Medical Books LTD, London.
Fitriyani, Ety. 2015.  Prevalensi Fasciolosis Pada Sapi Potong Di Kecamatan Malusettasi Kabupaten Barru. Skripsi. Makassar: Program Studi Kedokteran Hewan  Fakultas Kedokteran  Universitas Hasanuddin.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Inriani, Noveling. 2015. Identifikasi Cacing Nematoda Pada Saluran Pencernaan Babi Di Makassar. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Irnaningtyas. 2013. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Kastawi, H.Y., dkk. 2005. Zoologi Invertebrata. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang..
Kusumanihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis Pada Hean Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Skripsi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
Levine, N. D. 1990. Text book of veterinary parasitology. G. Ashadi (Penerjemah). Buku pelajaran parasitologi veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 
Marjiyo, M.F. 2004. Bahan Ajar Parasitologi (Blo 3151). Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Miyazaki, Ichiro. (1991) An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo, International Medical Foundation of Japan, pp: 296-305.
Mubarok, Husni. 2018. Panduan Praktikum Taksonomi Hewan. Jember: IAIN Jember.
Roberts L.S., Janovy J. 2005. Phylum Nematoda: form, function, and clasification. In Gerald D. Schmid &Larry S. Roberts’ foundations of parasitology, 7 th ed. New York: McGraw-Hill.p. 368-382.
Sayuti, Linda. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola Spp) Pada Sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Soulsby EJL. 1986. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domecticated Animals. Ed ke-7. London: Bailliere Tidall.
Subandriyo, Sartika T, Suhardono dan Gray GD. 2004. Worm Control for Small Ruminants in Indonesia. Di dalam: Sani RN, Gray GD, Baker RL, editor. Worm Control for Small Ruminants in Tropical Asia. Australia: Australian Center for International Agricultural Research-Scribby Gum Publication. hlm 15 1-1 69.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Susanto. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia.
Widaswara, Herlin, dkk. 2012. Pengaruh Terapi Lintah terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di Klinik Terapi Lintah Medis Purba Kawedusan Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. Volume 8. No. 3. 153-158.
Yesenia, Agnes, dkk. 2017. Identifikasi Parasit Nematoda pada Usus Halus Babi (Sus Scrofa Domesticus) Di Rumah Potong Hewan Medan Sumatera Utara. JIMVET. Vol 01. No 3. 473-476.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Taksonomi Hewan

Laporan Praktikum Taksonomi Hewan